Selasa, 15 Juli 2008

PAHALA TAKUT KEPADA ALLAH

Dalam Sebuah Hadits Qudsi, ada riwayat mengenai balasan yang diberikan Allah kepada orang yang takut kepada-Nya.

Rasulullah saw bersabda, "Ada seorang lelaki yang tidak pernah berbuat kebajikan sama sekali. Lelaki itu berwasiat kepada keluarganya, jika aku mati, maka bakarlah aku hingga lumat menjadi abu. Kemudian taburkanlah sebagian abu itu di daratan, dan sebagian lagi di laut. Demi Allah, jika Allah sampai menghisabku, pasti Dia akan mengazabku dengan azab yang tidak pernah ditimpakan kepada seorangpun di alam semesta!'

Tatkala lelaki itu meninggal, keluarganya melaksanakan apa yang telah dia wasiatkan kepada mereka. Lalu, Allah memerintahkan daratan untuk mengumpulkan abu yang disebar di daratan itu dan memerintahkan lautan untuk mengumpulkan debu yang disebar di lautan itu.

Kemudian, Allah Swt bertanya kepada lelaki itu (setelah dihidupkan kembali), 'Mengapa kau lakukan ini?'

Lelaki itu menjawab, 'Karena aku takut kepada-Mu Tuhanku, dan engkau lebih tahu itu.'

Allah Swt lalu mengampuninya."

Kisah dalam Hadits Qudsi ini begitu menggelitik dan penuh hikmah. Seseorang yang selalu berbuat maksiat dan tidak pernah beramal shalih sedikitpun, masih memiliki rasa takut kepada Allah Swt. Keagungan Allah ada di depan matanya, sehingga dia takut akan hisab dan azab Allah atas perbuatannya di dunia.

Ketakutan ini membuatnya berwasiat bodoh. Setelah mati, dia ingin mayatnya dibakar dan abunya disebar di daratan dan lautan.
Dengan begitu, dia berharap tidak akan bisa dihisab oleh Allah Swt. Dia ingin selamat dari azab Allah Swt. Dia yakin Allah itu ada. Dia pun yakin, hisab Allah itu ada dan hisab itu menunggu setelah kematiannya. Dia ingin menyelamatkan dirinya dengan cara menyebar lumatkan tubuhnya di darat dan di laut.

Namun, Allah Mahakuasa untuk tetap menghisabnya. Tidak ada yang luput dari hisab-Nya. Pada akhirnya, Allah mengampuni lelaki itu berkat rasa takutnya pada keagungan Allah Swt.

Hikmah yang dapat di ambil dari kisah tadi adalah, sekecil apapun keimanan di dada seseorang (yaitu keyakianan akan adanya Allah, hisab dan keadilan Allah) dapat mendatangkan ampunan dan rahmat Allah Swt. Bagaimana jika rasa takut kepada Allah itu dihadirkan setiap saat dengan disertai amal shalih? Tentu, pahala yang disediakan Allah, akan lebih besar dan agung.

Di dalama Al-Qur'an, Allah Swt telah berfirman dan memberikan kabar gembira, "Dan ada pun orang-orang yang takut kepada keagungan Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya)." (QS. An-Nazi'aat[79]: 40-41)

(Ketika Cinta Berbuah Surga, karya Habiburrahman El Shirazy)

KALIMAT PENGUSIR MAKSIAT

Seorang Ulama terkemuka, Imam Sahl bin Abdullah Al-Tastari menuturkan kisah dirinya, "Ketika berumur tiga tahun, aku ikut pamanku yaitu Muhammad bin Sanwar untuk melakukan qiyamullail. Aku melihat cara sholat pamanku dan aku menirukan gerakannya.

Suatu hari, paman berkata kepadaku, 'Apakah kau mengingat Allah, yang menciptakanmu?'

Aku menukas, 'Bagaimana caranya aku mengingatnya?'

Beliau menjawab, 'Anakku, jika kau berganti pakaian dan ketika hendak tidur, katakanlah tiga kali dalam hatimu, tanpa menggerakan lisanmu, 'Allahuma'i...Allahu naadhiri...Allahu syaahidi!' (Artinya, Allah bersamaku, Allah melihatku, Allah menyaksikan aku!)

Aku menghafalkan kalimat itu, lalu mengucapkannya bermalam-malam. Kemudian, aku menceritakan hal ini kepada paman.

Pamanku berkata, 'Mulai sekarang, ucapkan zikir itu sepuluh kali setiap malam.'

Aku melakukannya, aku resapi maknanya, dan aku merasakan ada kenikmatan dalam hatiku. Pikiran terasa terang. Aku merasa senantiasa bersama Allah Swt.

Satu tahun setelah itu, paman berkata, 'Jagalah apa yang aku ajarkan kepadamu, dan langgengkanlah sampai kau masuk kubur. Zikir itu akan bermanfaat bagimu di dunia dan akhirat.

Lalu, pamanku berkata, 'Hai Sahl, orang yang merasa selalu disertai Allah, dilihat Allah, dan disaksikan Allah, akankah ia melakukan maksiat?

Kalimat Allahu ma'i. Allahu naadhiri. Allahu syaahidi! sangat terkenal di kalangan ulama arif billah. Bahkan, syeikh Al-Azhar; Imam Abdul Halim Mahmud, yang dikenal sebagai ulama arif billah menganjurkan kepada kaum muslimin untuk menancapkan kalimat ini di dalam hati. Maknanya yang dasyat, jika dihayati dengan sungguh-sungguh, akan mendatangkan rasa ma'iyatullah (selalu merasa disertai, dilihat, dan disaksikan oleh Allah Swt, dimana dan kapan saja).

Pada akhirnya, rasa ini akan menumbuhkan takwa yang tinggi kepada Allah Swt. Kalau sudah begitu, apakah orang yang merasa selalu disertai, dilihat, dan disaksikan Allah akan melakukan maksiat?

(Ketika Cinta Berbuah Surga, karya: Habiburrahman El Shirazy)

Sabtu, 12 Juli 2008

Nilai dunia dalam pandangan Nabi

Untuk lebih lega dalam memandang dunia dan menempatkannya dalam proporsinya, mari kita simak bagaimana Rasulullah saw menggambarkan dunia dalam berbagai hadits:

DUNIA ADALAH SETITIK AIR DI TENGAH LAUTAN

Al Mustaurid bin Syaddad ra berkata, Rasulullah saw bersabda, "Tiadalah perbandingan dunia ini dengan akhirat, kecuali seperti seorang yang memasukan jarinya ke dalam lautan luas maka perhatikanlah yang tersisa." (HR. Muslim)

DUNIA LEBIH HINA DARI BANGKAI KAMBING KUPER

Dari Jabir ra, Rasulullah saw bersabda, "Demi Allah, sungguh dunia ini lebih hina dalam pandangan Allah daripada bangkai kambing kuper dan cacat ini dalam pandangan kalian." (HR. Muslim)

DUNIA ADALAH PENJARA MUKMIN DAN SURGA BAGI KAUM KAFIR

Dari Abu Hurairah ra, ia berkata, Rasulullah saw bersabda, "Dunia adalah penjara bagi orang-orang mukmin dan sebagai surga bagi orang-orang kafir." (HR. Muslim)

DUNIA IBARAT SAYAP NYAMUK

Sahl bin Sa'ad As Sa'idx ra berkata, Rasulullah saw bersabda, "Andaikata dunia ini bernilai di sisi Allah sebesar sayap nyamuk, niscaya tidak akan diberikan-Nya kepada orang kafir meski hanxa seteguk air." (HR. Tarmidzi)

Jumat, 11 Juli 2008

KECIL-KECIL JADI MUFTI

KECIL-KECIL JADI MUFTI

Suatu hari, di Masjidil Haram seorang guru tengah menyampaikan ilmu kepada murid-muridnya. Dengan lugas jelas dan komunikatif, guru tersebut menyampaikan materi fiqh, muamalah, jinayah dan hukum-hukum kriminal.

Namun ada yang ganjil dalam majelis itu, ternyata pak guru jauh tampak lebih muda dari murid-muridnya. Bahkan di tengah prosesi belajar mengajar, ia sempat minta izin untuk minum, padahal siang itu bulan Ramadhan. Kontan saja "ulah" pak guru menuai protes. "Kenapa anda minum padahal ini 'kan bulan Ramadhan?", tanya para murid. Ia menjawab, "Aku belum wajib berpuasa."

Siapakah pak guru yang terlihat nyeleneh tersebut? Ia adalah Muhammad Asy Syafi'i, yang lebih kita kenal dengan Imam Syafi'i.

Kita tak usah heran dengan fragmen ini, karena pada usia belum baligh Imam Syafi'i sudah menjadi ulama yang di segani. Usia sembilan tahun sudah hafal Al-Qur'an. Usia 10 tahun isi kitab Al Muwatha' karya Imam Malik yang berisi 1.720 hadits pilihan juga mampu dihafalnya dengan sempurna. Pada usia 15 tahun telah menduduki jabatan mufti (semacam hakim agung) kota makkah, sebuah jabatan prestasius pada masa itu. Bahkan dibawah usia 15 tahun, Imam Syafi'i sudah dikenal mampuni dalam bidang bahasa dan sastra Arab, hebat dalam membuat syair, jago qiraat, serta diakui memiliki pengetahuan yang luas tentang adat istiadat Arab yang asli. Subhanallah.
(dikutip dari buku Zero to Hero, karya Solikhin Abu Izzudi)

Kamis, 10 Juli 2008

Menjadi Besar dengan niat yang Benar

Menjadi Besar dengan Niat yang Benar
(ZERO to HERO, Solikhin Abu Izzudin)

"Berapa banyak amal yang remeh menjadi besar gara-gara niat. Dan berapa banyak amal yang besar menjadi remeh gara-gara niat." (Abdullah bin Mubarak)

Kami merasa perlu untuk mengupas niat. Mengapa?
"Berapa banyak amal yang remeh menjadi besar gara-gara niat. Dan berapa banyak amal yang besar menjadi remeh gara-gara niat." Kata Abdullah bin Mubarak.

Jangan-jangan prestasi yang kita punya sirna di hadapan Allah karena tidak di dasari niat yang benar, tidak dibingkai keikhlasan dan jauh dari keridhaan Allah. Seperti kisah orang "penting" yang di seret ke neraka karena salah niat. Padahal mereka adalah tokoh-tokoh tokoh terkemuka yang prestatif di tengah kaumnya, tetapi mereka di seret ke neraka terbongkar niat busuk dan buruk yang tersimpan rapi di lubuk hati mereka yang paling dalam. Siapakah mereka? Mereka adalah motor penggerak masyarakat yang sangat berperan dalam merubah kondisi masyarakat. Mereka adalah:

1. Orang alim, yang banyak ilmunya.
2. Dermawan, orang yang banyak dermanya.
3. Mujahid, orang yang gemar berjihad.

Ketiga golongan ini telah di peringatkan Rasulullah saw dalam sabdanya, "Yang pertama kali di bakar api neraka pada hari kiamat adalah tiga golongan, orang alim, mujahid dan dermawan. Adapun orang alim, maka Allah mendatangkan dan menanyainya: "Apa yang dahulu engkau perbuat di dunia?" Dia menjawab: "Aku menuntut ilmu di jalan-Mu, lalu aku sebarkan ilmu karena mencari keridhaan-Mu." Maka dikatakan kepadanya: "Engkau dusta! Sebenarnya engkau mencari ilmu supaya dikatakan sebagai orang alim." Kemudian diperintahkan kepada malaikat penjaga neraka untuk menyeretnya, maka dilemparkanlah dia ke dalam neraka.

Kemudian didatangkan seorang dermawan, maka dia ditanya: "Apa yang dahulu engkau perbuat di dunia?" Dia menjawab: "Aku mencari harta yang halal, kemudian aku inraqkan harta itu di jalan-Mu." Maka dikatakan kepadanya: "Engkau dusta! Engkau infaqkan hartamu supaya manusia menyebutmu dermawan." Kemudian diperintahkan malaikat penjaga neraka untuk menyeretnya, maka di lemparkanlah ia ke dalam neraka.

Kemudian yang ketiga, "Apa yang dahulu engkau perbuat di dunia?" Dia menjawab: "Aku berperang di jalan Allah, sehingga aku mati terbunuh." Maka di katakan kepadanya: "Engkau dusta! Engkau berperang supaya di katakan orang sebagai pemberani." Maka diperintahkanlah malaikat penjaga neraka untuk menyeretnya, maka di lemparkanlah dia ke dalam neraka." (Sebagaimana sabda Rasul dalam riwayat Muslim)

Para ulama meletakan hadits niat di awal bukan tanpa maksud dan tujuan. Allah swt berfirman,
"Katakanlah, 'Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah Tuhan semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)." (QS. Al-An'am: 162-163)

Kami merasa perlu mengawali buku ini dengan tema meluruskan niat karena memang inilah cara membangun pondasi amal agar memiliki nilai, makna dan arti. Ikhlas itu amal hati, syarat diterimanya amal dan ibadah.